Terdapat
tiga hal penting yang dialami manusia dalam kehidupannya, yaitu pada saat
dilahirkan, saat perkawinan dan pada saat manusia itu meninggal dunia. Setelah
seseorang dilahirkan, keluarganya memiliki tugas baru dimana setelah dia dewasa
ada hal yang perlu untuk diperhatikan antara lain mengenai masalah perkawinan.
Perkawinan merupakan masalah yang sangat penting dalam kehidupan seseorang
karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Meskipun demikian tidak setiap perkawinan akan mencapai tujuan yang baik. Kekekalan
dan kebahagiaan yang diinginkan kadang kala tidak berlangsung lama dalam arti
perkawinan tersebut tidak berujung pada kebahagiaan dan tidak menutup
kemungkinan akan terjadinya perceraian.
Secara
ideal sebuah perkawinan diharapkan dapat bertahan seumur hidup, artinya
perceraian baru terjadi apabila salah seorang dari suami atau istri tersebut
meninggal dunia. Akan tetapi tidak selamanya pasangan suami istri akan
mengalami kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah sebagaimana
yang diajarkan di dalam Islam, karena pastinya dalam kehidupan suatu rumah
tangga mungkin saja terjadi konflik yang sangat tajam sehingga terjadi krisis
hubungan suami istri, yang disebabkan karena percekcokan yang terus menerus dan
karena itu tidak mungkin diharapkan mereka akan hidup rukun sebagaimana
biasanya. Tidak ada seorangpun ketika melangsungkan perkawinan
mengharapkan akan mengalami perceraian, apalagi jika dari perkawinan itu telah
dikaruniai anak. Walaupun demikian ada kalanya ada sebab-sebab tertentu yang
mengakibatkan perkawinan tidak dapat lagi diteruskan sehingga terpaksa harus
terjadi perceraian antara suami isteri.
Untuk melakukan perceraian, salah satu dari pihak suami
atau isteri mengajukan permohonan atau gugatan cerai ke Pengadilan.
Dalam hal ini Pengadilan yang dituju adalah Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyah. Majelis Hakim Pengadilan yang berwenang akan mengabulkan permohonan
atau gugatan cerai setelah diperiksa ternyata terdapat alasan yang cukup kuat
untuk mengabulkan gugatan cerai yang diajukan. Dengan telah bercerainya
pasangan suami isteri, maka berakibat terhadap tiga hal, pertama putusnya
ikatan suami isteri, kedua harus dibaginya harta perkawinan yang termasuk harta
bersama, dan ketiga pengasuhan anak (Hadhanah) harus diserahkan kepada
salah seorang dari ayah atau ibu. Dalam kaitannya dengan ketiga akibat
perceraian ini, maka ketika mengajukan permohonan perceraian, para pihak dapat
mengajukan permohonan putusan pembagian harta dan pengasuhan anak bersama
dengan permohonan cerai.
Terhadap permohonan ini Majelis Hakim akan membuka sidang untuk memeriksa
apakah permohonan tersebut layak dikabulkan atau tidak.
Sebuah rumah tangga yang mengalami perceraian sudah
dapat dipastikan akan menimbulkan beberapa akibat yang merugikan semua pihak
tanpa terkecuali. Dalam hal ini tentunya akan membawa akibat hukum terhadap
anak. Dalam hal terjadinya perceraian orangtua, biasanya anaklah yang menjadi
korban. Orangtua beranggapan bahwa dalam perceraian mereka, persoalan anak akan
dapat diselesaikan nanti setelah masalah perceraian diselesaikan. Padahal tidak
demikian adanya, dan tidak demikian sederhananya, bahwa penyelesaian terbaik
bagi anak akan dapat dengan mudah dicapai. Seperti telah diketahui bersama
bahwa permasalahan pengasuhan anak sering timbul dalam kehidupan manusia,
sebagai akibat dari perceraian yang dilakukan kedua orangtuanya. Bagi orangtua tentunya,
menginginkan anak-anaknya tetap berada di dekat dan berada dalam asuhannya,
tetapi mau tidak mau antara kedua orangtua yang telah bercerai harus merelakan
anak-anaknya berada dalam penguasaan salah satu dari mereka, atau dengan jalan
pembagian hak asuhnya berdasarkan putusan Hakim yang memutuskan perceraian
mereka. Seorang anak atau lebih yang belum dewasa/dapat berdiri sendiri masih
berhak atas pengasuhan kedua orangtuanya, walaupun orangtuanya sudah bercerai,
dan pengasuhan tersebut semata-mata hanya untuk kepentingan anak-anak tersebut.
Secara fitrah (naluri) seorang ayah dan ibu memiliki
jalinan ikatan lahir batin dengan anak-anaknya yang telah diamanahkan Allah SWT
kepadanya. Terhadap anak tersimpan harapan dan dambaan orang tua, dimana anak
yang dididik, dibimbing dan diarahkan tersebut akan menjadi anak yang shaleh,
dapat mengangkat harkat dan martabat orang tuanya dunia dan akherat. Akan
tetapi anak yang nakal akibat dari didikan dan bimbingan yang salah akan dapat
merendahkan derajat, harkat dan martabat orang tuanya. Sehingga berangkat dari
pemikiran ini, maka ayah maupun ibu memiliki keinginan yang keras untuk dapat
lebih dekat dan dapat membimbing secara langsung anak-anaknya. Apabila terjadi
gugatan perceraian pun baik ayah maupun ibu sama-sama bersitegang
mempertahankan untuk dapat mengasuh anak-anaknya.
Satu persoalan
yang akan menjadi suatu kajian adalah jika benar terjadi perceraian, akan
tetapi antara kedua orang tua baik ayah atau ibu sama-sama menginginkan untuk
mendapatkan hak asuh terhadap anaknya. Terhadap adanya perbedaan keinginan dari
kedua orang tua anak tesebut, apabila hak pengasuhan (hadhanah) ini
tidak dapat diselesaikan secara damai melalui prosedur mediasi, maka pada
akhirnya harus ditempuh penyelesaian melalui jalur litigasi dengan putusan
pengadilan. Ketika putusan itu telah dijatuhkan oleh pengadilan, lalu misalnya
pihak yang dikalahkan tidak mau menyerahkan anak sebagai objek sengketa secara
sukarela, maka akan ditempuh prosedur eksekusi hak asuh anak (hadhanah).
Sejalan dengan
perkembangan kebutuhan praktek peradilan, eksekusi putusan di Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyah tidak hanya terbatas dalam bidang hukum benda, dalam
prakteknya sampai saat ini, eksekusi putusan telah mencakup dalam eksekusi
putusan hak asuh anak ( hadhanah). Eksekusi hak asuh anak merupakan
sejumlah permasalahan yang begitu penting karena objek perkaranya mengenai
orang, sehingga tingkat keberhasilannya terbilang cukup rendah bila
dibandingkan dengan eksekusi di bidang hukum kebendaan. Sampai saat ini,
eksekusi hak asuh anak ( hadhanah) masih diperselisihkan. Sebagaimana
para ahli hukum mengatakan bahwa anak tidak dapat dieksekusi, sedangkan
sebagian lagi yang lain mengatakan bahwa putusan mengenai hak asuh anak dapat
dieksekusikan.
Para ahli hukum yang mengatakan bahwa eksekusi anak tidak boleh dilaksanakan
beralasan bahwa selama ini dalam praktik peradilan yang ada tentang eksekusi
semuanya hanya dalam bidang hukum benda, bukan terhadap orang. Oleh karena itu,
eksekusi terhadap hak asuh anak sesuai dengan kelaziman yang ada maka tidak ada
eksekusinya, apalagi eksekusinya bersifat deklatoir (menetapkan).
Kenyataan yang ada selama ini, pelaksanaan eksekusi hak asuh anak hanya
bersifat sukarela, maksudnya tidak merupakan upaya paksa. Sedangkan ahli hukum
yang memperbolehkan eksekusi terhadap hak asuh anak dapat dijalankan mengatakan
bahwa perkembangan hukum yang dianut akhir-akhir ini menetapkan bahwa masalah
penguasaan anak yang putusannya bersifat menghukum ( condemnatoir), jika
sudah berkekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut dapat dieksekusi.
Pengadilan mempunyai upaya paksa dalam melaksanakan putusan ini. Jadi, seorang
anak yang dikuasai oleh salah satu orangtuanya yang tidak berhak sebagai akibat
putusan perceraian, maka Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah dapat mengambil
anak tersebut dengan upaya paksa dan menyerahkan kepada salah satu orangtua
yang berhak untuk mengasuhnya.
Mengenai alasan-alasan perceraian dalam Pasal 39 ayat
2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 sebagai berikut: 1. Salah satu
pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya
yang sulit disembuhkan. 2. Salah satu pihak meniggalkan pihak lain selama 2
(dua ) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman 5 (
lima ) tahun atau yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
yang lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri. 6. Antara suami dan
istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak dapat hidup
rukun lagi dalam rumah tangga.
Prosedur pengajuan permohonan atau gugatan di
Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah adalah sebagai berikut: 1).Pengajuan
perkara di kepaniteraan, 2).Pembayaran panjar biaya perkara, 3).Pendaftaran
perkara, 4).Penetapan Majelis Hakim, 5).Penunjukan Panitera Sidang dan
Jurusita, 6).Penetapan hari sidang, 7).Pemanggilan para pihak.
H.A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada
Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. viii
|
Posting Komentar