1. Pengertian Dan Dasar Hukum Hakamain
Hakamain adalah salah satu istilah yang terdapat dalam hukum islam sebagai alternatif penyelesaian sengketa perdata (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) temasuk didalamnya kasus syiqaq. Secara umum diketahui bahwa hakamain ( juru damai dalam perkara syiqaq) seorang berasal dari pihak keluarga suami dan seorang lagi berasal dari pihak isteri. Hakamain berasal dari bahasa arab sebagai kata dasar adalah ‘Hakam’ yang berarti berarti perwakilan. Namun apabila ditambah dengan kata ‘Ain’, maka artinyapun berubah menjadi dua orang perwakilan yang disebut sebagai hakamain dalam hukum islam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak isteri untuk menyelesaikan kasus syiqaq.
Istilah hakamain juga terdapat dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 35 yang juga dapat dijadikan sebagai dasar hukum pelaksanaan hakamian. Allah SWT berfirman: ÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#y‰ƒÌãƒ$[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz
Artinya : “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. An-Nisa:35).
Dari ayat diatas terbut dapat dipahami bahwa, Hakamain adalah seorang utusan atau delegasi dari pihak suami isteri, yang akan dilibatkan dalam penyelesaian sengketa perdata (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) temasuk didalamnya kasus perceraian. Namun dalam pandangan tentang hakamain ulama berbeda pandapat tentang kekuasaan dua orang hakamain, yakni apakah dua orang hakam tersebut berkuasa untuk mempertahankan perkawinan atau menceraikannya tanpa izin suami istri, ataukah tidak ada kekuasaan bagi kedua orang hakam itu tanpa seizin keduanya, di antaranya yaitu: Menurut Imam Malik, Bahwa kedua orang hakam itu dapat memberikan suatu ketetapan pada suami istri tersebut tanpa seizinnya, jika hal tersebut di pandang oleh kedua orang hakam tersebut dapat mendatangkan maslahat, seperti seorang laki-laki menjatuhkan talak satu kemudian istri memberikan tebusan dengan hartanya untuk mendapatkan talak dari suaminya. Artinya, kedua orang hakam tersebut merupakan dua orang hakim yang di berikan kekuasaan oleh pemerintah. Menurut Imam Abu Hanafiyah, Bahwa kedua orang hakam tidak boleh menceraikan suatu perkawinan tanpa izin dari suami istri, karena hakamain adalah wakil dari suami istri tersebut. Artinya bahwa seorang hakam dari pihak suami tidak tidak boleh menjatuhkan talak kepada pihak istri sebelum mendapat persetujuan dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri juga tidak dapat menjatuhkan khuluk sebelum mendapatkan persetujuan dari pihak suami. Menurut Imam Al-Syafi’i, Bahwa tugas hakamain itu adalah sebagai wakil dari pihak suami dan istri, menjalankan keinginan keduanya dan tidak boleh sampai memisahkan kehidupan perkawinan antara keduanya. Sedangkan menurut Ulama Ahli Fiqh, Bahwa kedua hakam itu di kirimkan dari keluarga suami dan istri, di kecualikan apabila dari kedua belah pihak yaitu suami dan istri tidak ada orang yang pantas menjadi juru damai, maka dapat dikirim orang lain yang bukan dari keluarga suami atau istri. Apabila kedua hakam tersebut berselisih, maka keduanya tidak dapat dilaksanakan dan untuk mengumpulkan kedua suami istri bisa dilakukan tanpa adanya pemberian kuasa dari keduanya. Akan tetapi ulama berbeda pendapat tentang pemisahan suami dan istri yang dilakukan oleh hakam, apabila keduanya sepakat untuk menceraikan mereka, apakah diperlukan persetujuan dari kedua belah suami istri atau tidak Kemudian Hakamain secara istilah yang cukup popular di kalangan Hakim Peradilan Agama di Indonesia secara langsung diartikan dengan, “ Dua orang Hakam dari Pihak Hakim”. Diketahui bahwa hakam ( juru damai dalam perkara syiqaq) seorang berasal dari pihak keluarga suami dan seorang lagi berasal dari pihak isteri. Tetapi dalam kondisi tertentu Majelis Hakim dapat mengangkat ,“Hakamain min Jihatil Hakim” yang bukan dari pihak keluarga para pihak, diantaranya yang berasal dari Hakim Mediator yang sudah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Agama. Menurut Insyafli Garis hukum yang dapat kita tarik dari kutipan di atas adalah bahwa, dalam hal khusus (misalnya pihak keluarga kurang memenuhi persyaratan), maka Hakim dapat mempertimbangkan untuk mengangkat dua orang yang bukan keluarga sebagai hakamain, dalam hal ini misalnya Mediator yang ditunjuk oleh Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah (Aceh) yang berasal dari kalangan Hakim. Apalagi mengingat kemampuan mereka untuk mengemban tugas, mencari penyelesaian dalam sengketa para pihak pasti lebih unggul dibandingkan dengan dari pihak keluarga. Lembaga “Hakam” merupakan lex specialis di dunia Peradilan Agama yang notabene merupakan penerapakan “Hukum Manshuskh” dari firman Allah SWT dalam Al-Qur’an yang terdapat surat An Nisa’ ayat 135 dalam perkara“Syiqaq” atau perceraian dengan alasan percekcokan yang memuncak. 1.1. Syarat-syarat menjadi Hakamain Dalam hal persyaratan menjadi hakamain pada dasarnya tidak diatur dalam hukum islam sebagai ketetapan yang bisa menjadi dasar hukum yang kuat, karena menurut Al-Qur’an yang terdapat dalam surat An Nisa’ Ayat 135 yang sudah disebutkan diatas hannya mewajibkan adanya dua hakam yang diutus dari pihak suami isteri tersebut, artinya masih terdapat perbedaan pendapat, tetapi menurut Syeikh Jalaluddin al-Mahally syarat-syarat menjadi hakam adalah sebagai berikut: ويشترط فيهما الحرية والعدا لة والا هتداء الى ما هو المقصود من بعتهما Artinya: “Disyaratkan kedua Hakam itu merdeka, adalah (jujur) serta punya pengetahuan tentang tugas-tugas yang dibebankan kepadanya”.
Kemudian Sebagai landasan ilmiyah fiqhiyah, dapat kita lihat pendapat Wahbah az-Zuhaili, sewaktu menguraikan syarat-syarat hakam sebagai berikut: فان لم يكونا من اهلهما بعث القا ضي رجلين اجنبيين و يستحسن ان يكون من جران الزوجين ممن لهما خبرة بحا ل الزوجين و قدرة علي الا صلاح بينهما Artinya: “Jika keduanya tidak berasal dari keluarga kedua suami isteri, Hakim mengangkat dua orang laki-laki yang bukan kelaruga (orang lain: ajnabiy). Baik sekali keduanya berasal dari tetangga suami isteri, yang mengetahui betul keadaan suami isteri, serta memiliki kemampuan untuk mendamaikan keduanya”. Selain dari pada syarat-syarat diatas untuk menjadi hakamain menurut jumhur ulama adalah orang muslim, adil, di kenal istiqamah, keshalihan pribadi dan kematangan berpikir, dan bersepakat atas satu keputusan. Keputusan mereka berkisar pada perbaikan hubungan dan pemisahan antara mereka berdua. Berdasarkan pendapat jumhur ulama, keputusan dua penengah ini mempunyai kekuatan untuk mempertahankan hubungan atau memisahkan mereka. 1.2 Tujuan Hakamaian Tugas hakamain adalah mengarahkan segala upaya untuk mengetahui akar permasalahan yang menjadi sebab perseteruan antara suami istri dan menyingkirkannya, serta memperbaiki dan mendamaikan hubungan suami-istri yang sedang dilanda masalah dan dapat menyatukan kembali pasangan suami istri tersebut. Peranan hakamain sebagai mediator (pemberi saran) dalam penyelesaian sengketa perceraian atas dasar syiqaq, sangatlah bermanfaat dan berarti dalam memberi masukan pada hakim guna ikut menyelesaiakan perselisihan yang terjadi. Kewenangan hakam selaku mediator dalam penyelesaian sengketa perceraian hanya sebatas memberikan usulan pendapat dan pertimbangan dari hasil yang telah dilakukan kepada hakim. Karena Undang-undang tidak memberikan kewenangan kepadanya untuk menjatuhkan putusan sebagai hasil dari pada proses penyelesaian sengketa perdata (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) tersebut. Menurut firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 135 diatas, jika terjadi kasus antara suami istri, maka diutus seorang hakam dari pihak suami da seorang hakam dari pihak istri yang berfungsi untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab-musabab terjadi syiqaq dimaksud, serta berusaha mendamaikannya, atau mengambil prakarsa putusnya perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang terbaik. Terhadap kasus syiqaq ini, hakam yang disebut sabagai hakamain bertugas menyelidiki dan mencari sebab-sebab timbulnya persengketaan, dan berusaha sebesar mungkin untuk mendamaikan kembali. Agar suami istri kembali hidup bersama dengan sebaik-baiknya, kemudian jika dalam perdamian itu tidak mungkin ditempuh, maka kedua hakamain berhak mengambil inisiatif untuk menceraikannya, kemudian atas dasar prakarsa hakamain ini maka hakim dengan keputusannya menetapkan perceraian tersebut. Hakammain (kedua hakam) itu boleh memutuskan perpisahan antara suami istri, tanpa suami menjatuhkan talaq. 1.3. Hikmah Di Utusnya Dua Penengah Hikmah adanya hakamian di antaranya untuk menghilangkan adanya tindakan-tindakan yang merugikan pihak-pihak lain, untuk menyelesaikan perselisihan, mencegah permusuhan, menyelesaikan pertengkaran. Hakam baru boleh di utus bila cara-cara seperti nasihat, pengacuhan, pemukulan sudah tidak bias memberikan efek jera kepada pasangan suami-istri tersebut. Dalam kehidupan rumah tangga terjadinya perselisihan adalah yang biasa dan mungkin terjadi bahkan sering terjadi perselisihan bila sudah mulai tampak ketidak cocockan dalam membina rumah tangga. Hal yang kecilpun menjadi besar dan hal yang besarpun menjadi lebih fatal. Islam sejak dulu sudah mengantisipasi problem rumah tangga yang memburuk dengan adanya perceraian, perceraian itu oleh islam di perbolehkan walaupun di benci agama. Namun sebelum terjadinya perceraian pasangan suami-istri hendaknya selalu untuk berusaha menjaga hubungan tersebut agar perselihan tersebut tidak berakhir dengan perceraian. Perselisihan yang semakin meruncing tentunya akan mengakibatkan suami-istri itu tidak cakap lagi dalam menyelesaikan biduk rumah tangganya lagi, kalau keadaan semacam itu maka perlu di utus adanya hakamaian guna memperbaiki dan mendamaikan pasangan suami tersebut, terkait dengan masalah yang di hadapi. Hakamain yang di utus dalam perselisihan tersebut terdiri dari seorang hakam dari pihak laki-laki dan hakam dari pihak-pihak perempuan, dan sebaiknya mengutus seorang hakam yang benar-benar tahu keadaan suami mapun istri tersebut (orang yang banyak mengetahui karakter maupun perilaku suami maupun istri tersebut). Bila mana dari salah satu pihak maupun keduanya tidak mempunyai hakam dari keluarga sendiri maka tentunya mencari seorang hakam yang di anggap mampu baik dari segi ilmunya maupun cara dia menyelesaikan sengketa tersebut. Hakamain dari pihak luar yang mempunyai kapasitas dan kredibilitas yang dipilih oleh pengadilan agama disebut dengan hakam min jihat al-hakim di mana dia menjadi wakil atau penyambung lidah dari hakim untuk bernegoisasi dan mendamaikan suami-istri yang sedang bersengketa guna mencari titik temu. Bila mana hakamain dalam menegoisasi dan memediatori pihak suami istri yang berselisih berhasil dan mendapatkan titik temu maka suami-istri tersebut hendaknya melakukan islah sebagaimana yang telah di anjurkan oleh al-Qur’an dalam surat al-Nisa’ ayat 35. Dan apabila hakamain dalam menegoisasi dan memediatori tidak menemukan titik temu terkait masalah suami-istri tersebut maka lebih baik bercerai dari pada nantinya akan terjadi suatu hal yang makin memperburuk keadaan.
2. Bentuk-Bentuk Hakamain Dalam Kasus Perceraian Pada dasarnya bentuk hakamain tidak ditentukan dalam hukum fiqh, tetapi Al-Qur’an dalam Surat An-Nisa’ Ayat 128 sampai 129 menegaskan bahwa penyelesaian sengketa harus melibatkan hakam sebagai hakamain sebagai pihak ketiga bunyinya sebagai berikut: ÈbÎ)ur îor&zöD$# ôMsù%s{ .`ÏB $ygÎ=÷èt/ #·—qà±çR ÷rr& $ZÊ#{ôãÎ) Ÿxsù yy$oYã_ !$yJÍköŽn=tæ br& $ysÎ=óÁム$yJæhuZ÷t/$[sù=ß¹ 4 ßxù=Á9$#ur ׎öyz 3 ÏNuŽÅØômé&ur Ú[àÿRF{$# £x’±9$# 4 bÎ)ur (#qãZÅ¡ósè? (#qà)Gs?ur cÎ*sù ©!$# šc%x. $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? #ZŽÎ6yz ÇÊËÑÈ `s9ur (#þqãè‹ÏÜtFó¡n@ br& (#qä9ω÷ès? tû÷üt/Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym ( Ÿxsù (#qè=ŠÏJs? ¨@à2 È@øŠyJø9$# $ydrâ‘x‹tGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè?(#qà)Gs?ur cÎ*sù ©!$# tb%x. #Y‘qàÿxî $VJŠÏm§‘ Artinya : Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.Dan Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.( Q.S. An-Nisa’ Ayat 128-129)
Dari ayat diatas secara tafsir dapat dipahami bahwa apabila seorang wanita di khawatirkan akan nusyuz atau sikap tidak acuh terhadap suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perjanjian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun pada dasarnya manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika suami menggauli menggauli isterinya haruslah secara baik dan memeliharanya (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Kemudian sebagai suami sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil kepada isteri, walaupun menginginkan, karena itu janganlah terlalu cenderung mencintai suami dan isteri terhadap suami, sehingga diantara keduanyan membiarkan yang lain (Anak dan keluarga) terkatung-katung. Nusyuz dari pihak isteri seperti adalah meninggalkan rumah tanpa izin suaminya, Nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap isterinya, hal ini ditandai dengan tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan hak-hak diantara keduanya. Para ulama tidak menentukan bentuk hakmaian secara rinci hanya mewajibkan dalam hakamain harus ada orang yang menengahi perselisihan yang terjadi sudah kronis, sekalipun belum di ketahui pihak mana yang bersalah, atau telah di identifikasi kedua-duanya bersalah, dan sang suami tidak sudi menggauli istrinya dengan baik, tapi tidak mau menceraikannya, begitu pula halnya dengan si istri Para ulama sepakat bahwa dua penengah yang di utus itu satu harus dari pihak suami dan satunya dari pihak istri. Bila hal itu tidak memungkinkan, maka boleh di gantikan dengan orang yang di anggap tepat, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Para ulama juga sepakat bahwa dua penengah itu mempunyai hak dan wewenang penuh untuk memutuskan apa yang menurut mereka terbaik dan wajib di taati oleh suami dan istri yang sedang berselisih. Akan tetapi bila tidak ada kesepakatan maka keputusan yang telah di berikan ke dua penengah tidak perlu di jalankan. Pendapat penulis tentang penerapan bentuk hakamain dalam hukum islam yang efektif adalah menurut Syekh Abdul Hamid Muhammad Ghanam yang telah ditermahkan oleh Muhtadi Kadi dalam bukunya bawalah keluargamu ke syurga, adalah sebagai berikut: Muslim yang baik adalah, berusaha mendamaikan dua orang yang berseteru dan membuka pintu kebaikan dihadapan mereka sebagaimana firman Allah Swt, dalam Al-Qur’an Surat An Nisa’ ayat 114 sebagai berikut: žw uŽöyz ’Îû 9ŽÏVŸ2 `ÏiB öNßg1uqôf¯R žwÎ) ô`tB ttBr& >ps%y‰|ÁÎ/ ÷rr& >$rã÷ètB ÷rr& £x»n=ô¹Î) šú÷üt/Ĩ$¨Y9$# 4 `tBur ö@yèøÿtƒ šÏ9ºsŒ uä!$tóÏFö/$# ÏN$|ÊósD «!$# t$öq|¡sù ÏmŠÏ?÷sçR #·ô_r& $\K‹Ïàtã ِ Artinya : “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar. (Q.S. An Nisa’: ayat 114) Dari maksud ayat diatas menurut Syekh Abdul Hamid Muhammad Ghanam, jika seorang muslim mendapatkan dua orang saudaranya yang saling berseteru, maka hendaknya dia (hakam, hakamain, atau mediator) pada saudaranya yang satu (Suami) dengan kabar gembira, meskipun itu bohong ( tidak sesuai). Demikian juga dia (hakam, hakamain atau mediator) menceritakan kepada yang satu lagi (Isteri) juga dengan kabar kebaikan. Supaya hati mereka berdua (Suami Isteri) dapat menyatu. Hal seperti itu bukanlah suatu dosa, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh imam muslim, bahwa Rasulullah Saw, pernah bersabda. عن أم كلثوم بنت عقبة أخبرته : أنها سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ليس الكذاب الذي يصلح بين الناس فينمي خيرا أو يقول خيرا Artinya :" Dari Ummu Kultsum binti Uqbah mengabarkan bahwa dia mendengar Rasulullah Saw Bersabda: “Bukanlah pendusta orang yang mendamaikan antara manusia (yang bertikai) kemudian dia melebih-lebihkan kebaikan atau berkata baik”. (Muttafaqun 'Alaih) Di dalam riwayat Al Imam Muslim ada tambahan: ولم أسمع يرخص في شيء مما يقول الناس كذب إلا في ثلاث الحرب والإصلاح بين الناس وحديث الرجل امرأته وحديث المرأة زوجها Artinya : “ Dan aku (Ummu Kultsum) tidak mendengar bahwa beliau memberikan rukhsah (keringanan) dari dusta yang dikatakan oleh manusia kecuali dalam perang, mendamaikan antara manusia, pembicaraan seorang suami pada istrinya dan pembicaraan istri pada suaminya” (Muttafaqun 'Alaih) Apakah anda rela melihat kehancuran rumah tangga orang lain sehingga dengan limpahan rahmat Allah membolehkan kita untuk berbohong dalam menyatukan dua hati (Suami Isteri) demi kebaikan. Begitulah mulya amal orang muslim yang menyatukan hati (Suami Isteri) agar mereka saling tolong-menolong dalam kebaikan untuk meraih ridha Allah yang maha mulya.
3. Tolak Ukur Keberhasilan Hakamain Dalam Kasus Perceraian Tolak ukur keberhasilan Hakamain dalam hukum islam tidak disebutkan atau diatur secara rinci sebagai pedoman teknis pelaksanaan hakamain itu sendiri, menurut penulis hal ini terjadi karena mengingat hakamain hanya diberlakukan dalam kasus syiqaq atau perselisihan antara suami dan isteri saja, tetapi Al-Qur’an hanya menegaskan atas kewajiban adanya hakamain dalam perkara syiqaq tersebut seperti yang terdapat dalam Surat An-Nisa’ 135,128,129,114 yang sudah disebutkan diatas, selain itu keberhasilan hakamain menurut penulis tidak dapat dilihat dari segi materil, karena keberhasilan hakamain secara hakikat dalam hukum islam berada pada kadar iman seseorang sehingga hal-hal yang menyebabkan perselisihan itu tidak akan terjadi apabila seorang suami atau isteri sangat memahami antara hak dan kewajibannya, maksud hak dan kewajiban disini bukanlah hak dan kewajiban yang telah diatur oleh Undang-undang sebagai hukum positif, tetapi ialah hak yang diatur oleh agama yang dapat dirasakan secara bathin atau tidak dapat dijelaskan secara bahasa tentang rasa tersebut secara rinci. Selain daripada uraian diatas sebagaimana yang telah disebutkan tolak ukur keberhasilan Mediasi menurut Ali Muhtharom bahwa ukuran keberhasilan mediasi pada perkara perceraian adalah apabila semakin banyaknya jumlah perkara perceraian yang dicabut dari lembaga pengadilan tersebut. Selanjutnya dalam hakamain menurut penulis tolak ukur keberhasilannya adalah apabila tidak ada kasus perceraian yang sampai keperadilan, hal ini disebabkan bahwa pencapaian hakikat mediasi dan hakamian berbeda. Menurut penulis sekalipun Mediasi adalah sebagai alternatif penyelesain, yang diupayakan agar para pihak berdamai, tetapi kecendrungannya tetap mempunyai status hukum yang implementasinya sudah cacat dalam hukum islam untuk membangun keluarga sakinah, mawaddah, dan warahmah, sebagai hakikat dasar dalam keluarga islam. Sedangkan konsep hakamain dalam hukum islam kecendrungannya adalah sebagai pencegahan agar tidak terjadinya persengketaan keluarga dalam kasus syiqaq dan kalaupun terjadi perceraian diupayakan tetap dalam bingkai kedamaian, karena bagaimanapun perceraian tetap akan bisa terjadi yang tidak semata-mata diakibatkan oleh persengketaan yang dianggap negatif. Adanya perbedaan cara penyelesain yang diberikan al-Qur’an terhadap nusyuz yang dilakukan oleh suami isteri, para mufasir melihat bahwa sebenarnya kemaslahatan rumah tangga secara umum lebih ditentukan oleh suami. Oleh karena itu prioritas keadaan baik tidaknya keluarga tersebut lebih ditekankan kepada suami. Memang kadang-kadang ada suami yang lemah sehingga isterinya lebih pandai dalam mengatur rumah tangga. Namun suami tetap lebih bertanggung jawab dalam menciptakan keadaan tentram, damai, dan sejahtera dalam rumah tangga tersebut, dan memang suamilah yang menjadi pemimpin dalam rumah tangga hal ini telah dipertegas oleh Al Qur’an sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa’ Ayat 34 berikut bunyinya: Allah berfirman ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% ’n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4’n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr&ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=ø‹tóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#urtbqèù$sƒrB Æèdy—qà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur ’Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sùöNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸x‹Î6y™ 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2
Artinya : “ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara dir ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.(Q.S.An-Nisa’:34)
Maksud daripada ayat diatas secara tafsir adalah seorang isteri harus patuh kepada suami selama suami itu masih dalam keadaan benar dan bertanggung jawab kepada isterinya, serta mencukupi nafkah lahir dan bathin dan seorang isteri tidak boleh berlaku curang (Selingkuh) serta bisa memelihara rahasia dan harta suaminya begitupun sebaliknya bagi seorang suami. Kemudian proses hakamain juga berbeda dengan proses mediasi. Proses mediasi adalah terjadi didua tempat pertama diluar peradilan yang kedua didalam peradilan itu sendiri yang prosesnya menurut penulis adalah secara menyeluruh, dan mediasi hanya bisa dijalankan apabila perkara perceraian tersebut sudah diangakat atau didaftarkan kepengadilan yang secara logika menurut menulis apabila suatu perkara sudah diangkat atau didaftarkan kepengadilan berarti kasus tersebut sudah tidak sanggup lagi diselesaikan oleh hakamain secara kekeluargaan baik melalui aparatur desa ataupun tokoh masyarakat, tokoh agama terlebih didalam keluarga besar antara pihak suami dan isteri yang bermusyawarah untuk mufakat secara bersama. Sedangakan hakamain menurut penulis juga terjadi didua tempat yaitu, pertama sebelum perkara perceraian tersebut diangkat kepengadilan yang kedua setelah perkara tersebut kepengadilan. Hanya lagi dalam fungsi dan tugas hakamain sebelum dan sesudah perkara tersebut diangkat kepengadilan menjadi berbeda, kalau hakamain sebelum perkara tersebut diangkat kepengadilan hakam sebagai hakamain mempunyai peran penting dalam proses tersebut sebagai titik temu daripada kinerja hakamain dalam mendamaikan konkritnya kalau dalam proses menghakmaiankan para pihak suami isteri ini mereka yang ditunjuk sebagai hakamain lalai, maka disinilah letak kehancuran keluarga tersebut. Dalam hal ini penulis sependapat dengan imam Malik yang sudah ditulis sebelumnya mengatakan bahwa, hakam sebagai hakamain boleh memutuskan (menceraikan) suami isteri tanpa ada persetujuan dari kedua belah pihak bila dalam hal ini hakamain memandang bisa mendatangkan kemaslahatan bagi mereka. Sedangkan hakamain setelah perkara kasus syiqaq tersebut sudah diangkat kepengadilan, maka tugas dan fungsi hakamain semata-mata hanya mendampingi para pihak suami isteri dalam mengurusi perkara mereka dan untuk memberi keterangan-keterangan yang dibutuhkan peradilan, hakim, dan hakim yang diangkat sebagai mediator dalam memudahkan segala urusan mereka. Dari semua uraian diatas menurut penulis jelas bahwa, apabila hakam sebagai hakamain mampu menjalankannya insya Allah penulis yakin perkara perceraian tidak akan terjadi selain itu tolak ukur keberhasilan hakamain dalam kasus perceraian itu bisa tercapai apabila seorang mampu melaksanakan tujuan hakamain tersebut yang dapat dilihat dalam pembahasan sebelumnya.
Insyafli, Pemberdayaan Hakamain Dalam Penyelesaian Perceraian, http://www .badilag .net/data/Artikel/Mediasi. (diakses pada 15 Maret 2011), hlm. 3
Abdurrahaman al-zaziry, al-fiqh ‘ala Mazhabib al-Arba’ah, ( Mesir: Dar al_Nadhah al-‘Arabiyah, 1976), hlm. 341
Yahya Harahap, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama (Jakarta. Pustaka Karini, 1997), hal. 270.
Insyafli, Pemberdayaan Hakamain……, hlm. 5
Jalaluddi al-Mahally, Qalyuby wa Umairah, (Mesir: Dar al-Ihya, al-Kutub al-‘Arabiyah 1979), hal. 307
Wahbah Az-zuhaily, al-fiqh al-islamy wa adillatuhu, (Damsyiq. Dar al-fikr, 1984), hlm. 828
Perjanjian dalam kasus syiqaq adalah menghukum tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang disengaja baik itu datangnya dari suami ataupun isteri yang cenderung nusyuz
Lihat Tafsir Al-Qur’an Surat An Nisa’ ayat 128-129
Syekh Abdul Hamid Muhammad Ghanam, Bawalah keluargamu ke Syurga, panduan membimbing keluarga agar berjalan diatas Titian Manhaj Rasulullah, ( Jakarta Timur, Mirqat Media Grafika, 2007), hlm. 41-42
HR. Al-Bukhri, Hadits Nomor 2692. HR. Muslim, Hadits Nomor 6576. HR. Abu Dawud, Hadits Nomor 4920. HR. At-Tirmidzi, Hadits Nomor 1938
Negatif adalah suatu pandangan yang tidak baik atau bertolak belakang dari keadaan yang sebenarnya dalam skripsi ini negatif penilis artikan dengan nusyuz suami atau isteri sebagai akibat daripada sengketa keluarga dalam kasus syiqaq berujung pada perceraian.
Lihat Tafsir Ayat Al-Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat 34 secara lengkap
|
Posting Komentar